Minggu, 25 September 2016

Sukses Usaha Sembako, Rifqinizamy Karsayuda Ingin Belajar Kembali

Beberapa waktu yang lalu saya sempat mambaca sebuah buku yang menuturkan tentang kisah seorang pedagang sembako di Palembang. Sebelum memulai usahanya dan menjadi besar,  dia mengalami banyak sekali hal pahit yang menimpa negeri ini dan dirinya sendiri. Pada tahun 2008 terjadi krisis moneter besar-besaran melanda negeri ini, gelombang PHK terjadi secarabesar-besaran disaentero negeri. Perusahan yang memperkerjakan dirinya dijarah dan dibakar massa. Meskipun dirinya seorang pimpinan diperusahaan tersebut namun dia tetap mengalami PHK karena perusahaan tersebut bangkrut.



Namanya adalah Rifqinizamy Karsayuda, seorang wirausaha yang sukses. Ia sempat depresi dan bingung harus melakukan apa untuk bertahan hidup. Namun sang istri terus menguatkan dirinya. Istrinyalah yang memulai usaha berjualan sembako kecil-kecilan didepan rumah, tepatnya di garasi. Hari pertama berjualan mereka hanya mampu menjual sembako senilai Rp.50ribu. namun sang istri terus memberikan keyakinan agar usaha tersebut dilanjutkan agar asap dapur terus mengepul dan anak-anak bisa sekolah. Namun, setelah mental dirinya stabil dan sanggup menerima kenyataan bahwa dia sudah tidak bekerja lagi, perlahan-lahan dia bangkit untuk membantu istrinya berjualan sembako.

Rifqinizamy Karsayuda  pikirkan strategi-strategi agar jualan sembakonya bisa mengalami peningkatan. Pertama-tama dia murahkan harga jual sembakonya Rp.500 untukbarang-barang yang sering dibeli konsumen seperti Aqua gallon, gas dan beras. Ia pun memberikan service tambahan gratis berupa layanan pesan kirim kerumah pelangganya. Pelan namun pasti pelangganya terus bertambah.

Selama perjalanan usaha Rifqinizamy Karsayuda juga pernah mengalami kepahitan dan kegagalan. Ketika diwilayah pertama usahanya berhasil, kemudian ia tergiur untuk mengembangkan minimarket. Tiga minimarket pun dia buka. Alhasil, minimarket tidak berjalan dengan baik dan dia pun rugi. Akhirnya ia tutup dan focus kembali ke toko pertamanya. Ia tingkatkan dari hanya toko, kemudian menjadi agen dan distributor untuk meningkatkan skala dan mengambil margin yang lebih besar.

Saat ini Rifqinizamy Karsayuda  mampu menjual sekitar 5000 aqua galon setiap harinya diwilayah bekasi dan memiliki 3 gudang sekaligus tokonya. Ia pun focus pada distribusi sembako keagen dan toko sembako sekitar bekasi. Jerih payahnya menuai hasil. Ia pun menanamkan mental jatuh bangun mengelola usaha pada anak-anaknya.

Sekarang ini, anak-anaknya diminta membantu dirinya mengurusi toko-toko dan gudangnya. Tidak ada anaknya yang bekerja pada perusahaanasing. Karena ia telah mengalami pahitnya bekerj apada orang asing. Menurutnya lebih baik menjadi pengusaha. Menurutnya, lebih hebat jadi pengusaha gorengan tapi bisa menjualnya di seluruh dunia dibanding bekerja untuk pengusaha asing yang jelas-jelas mengeruk keuntungan dari negeri sendiri.

Namun setelah sukses di usaha sembago, kini RifqinizamyKarsayuda, kini ingin kembali melanjutkan study mengejar pengetahuan yang belum ia dapat di bangku kuliah. Karena ilmu yang didapat dilapangan ingin sekali ia buktikan di ilmu teori.

Rabu, 24 Agustus 2016

Cerita ditolaknya Gloria jadi Paskibraka hingga Jokowi turun tangan

Cerita ditolaknya Gloria jadi Paskibraka hingga Jokowi turun tangan
Reporter : Dede Rosyadi | Jumat, 19 Agustus 2016 04:00


Merdeka.com - Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengatakan, anak buahnya yang melatih Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) sempat memanas dan adu pendapat saat muncul keputusan bahwa Gloria Natapradja Hammel batal menjadi anggota Paskibraka pada Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-71 di Istana Merdeka, Jakarta Pusat.

Hal itu lantaran Gloria kedapatan memiliki dwikewarganegaraan dan dianggap melanggar aturan yang menyebabkan dia tidak bisa mengibarkan bendera merah putih bersama kawan-kawan Paskibraka.

"Sama-sama kita ketahui bahwa proses pemilihan Paskibraka itu mulai dari daerah-daerah sampai pusat. Itu Kementerian Pemuda dan Olah Raga menyeleksi anggota Paskibraka kurang lebih satu bulan sebelumnya. Dari hasil pengecekan pemilihan itu, maka diserahkan ke TNI untuk dilatih dengan beberapa pelatih agar jadi Paskibraka," kata Gatot di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Kamis (18/8).

Gatot melanjutkan, para anggota Paskibraka mulai dibina oleh TNI dengan jadwal pelatihan mulai pukul 04.00 WIB. Mulai dari bangun pagi, kemudian bagi beragama Islam menunaikan salat dan berdoa. Selepas itu, dilanjutkan senam dan sarapan pagi.

"Latihan sampai malam dan ada pembentukan karakter. Mereka semua ada dibuat satu unit solid, mempunyai jiwa persaudaraan. Mempunyai kecintaan Tanah Air tinggi dan rasa tanggung jawab besar. Ini dibentuk," papar Gatot menceritakan.

Ketika sudah berjalan satu bulan, kata Gatot, akan ada pelaksanaan gladi kotor. Setelah satu hingga tiga kali gladi kotor, maka dilanjutkan dengan gladi bersih dan upacara.

Menurut Gatot, saat gladi kotor yang bertanggung jawab dalam agenda itu adalah perwira upacara yakni Brigjen Josua Sembiring. Perwira yang sehari-hari bertugas sebagai Kepala Staf Garnisun.

"Perwira upacara kemudian melaksanakan upacara dan menyeleksi komandan upacara dan sebagainya, berdasarkan aturan. Masuk di sini, aturannya adalah Paskibraka harus WNI," jelas Gatot.

"Setelah di cek, Gloria ternyata ditemukan (kewarganegaraan ganda). Ada yang protes untuk tidak boleh ikut, itu pendapat anggota TNI juga," sambungnya.

Gatot menambahkan, hubungan antara pelatih dengan Paskibraka terjalin dengan baik. Antara pelatih dengan anggota Paskibraka sudah seperti anak sendiri.

"Jadi TNI dengan TNI ribut, adu pendapat, dan lapor kepada saya. Yang jelas kita pada dilema Undang-undang mengatakan begitu," imbuhnya.

Menurut Gatot, keputusan itu berdasarkan pada Undang-undang No 12 Tahun 2016, mengatakan bahwa Warga Negara Indonesia (WNI) menikah dengan Warga Negara Asing (WNA), maka anaknya memiliki kewarganegaraan ganda.

"Itu pasal selanjutnya mengatakan, apabila anak tersebut lahir sebelum Undang-undang ini digunakan, maka diberi kesempatan selama empat tahun untuk mendaftarkan ke kementerian atau petugas sebagai Warga Indonesia. Gloria tak mendaftarkan ini," ungkapnya.

Dengan begitu, masih kata Gatot, Gloria pun memiliki kewarganegaraan ganda, namun nanti dia berhak memilih salah satu kewarganegaraan saat usia 18 tahun.

"Kemudian Undang-Undang yang tadi ada pasal apabila memiliki tanda dua kewarganegaraan, bisa paspor atau lainnya, maka otomatis kewarganegaraannya sebagai Warga Negara Indonesia hilang. Dan adik kita (Gloria) ini memiliki paspor," papar jenderal bintang empat ini.

Merujuk pada Undang-Undang yang ada, kata Gatot, maka dengan sangat terpaksa Gloria harus melepaskan keanggotaan Paskibraka. Kasus itu sampai ke Presiden Jokowi dan memberikan hasil berbeda untuk Gloria.

"Nah, Presiden kita ini sangat bijak.
Sebagai tamu kehormatan, kemudian pada saat penurunan bendera juga seperti Paskibraka juga, (Gloria) dengan seragam Paskibraka sebagai Gordon, sebagai pengawal Presiden," tutur Gatot.

"
Jadi aturan tak dihilangkan, dia juga tetap jadi Paskibraka sebagai Gordon dan semuanya happy. Saya juga tenang juga kan," pungkasnya.

Rifqinizamy Karsayuda



Kamis, 07 Juli 2016

Dilema Raksasa Teknologi Digital

Dilema Raksasa Teknologi Digital

Agus Sudibyo ;   Kaprodi Komunikasi Massa Akademi Televisi Indonesia
                                                         KOMPAS, 04 Juli 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Lanskap komunikasi dan informasi yang mengalami perubahan drastis dewasa ini menghasilkan sejumlah dilema terkait dengan keberadaan raksasa teknologi digital seperti Google, Facebook, dan Yahoo. Google, misalnya, telah dianggap anugerah bagi banyak orang. Jaringan mesin pencari dengan jumlah pengguna terbesar di dunia ini memberi banyak kemudahan komunikasi-informasi dengan kemampuan menyajikan lautan data dan informasi dengan lingkup nyaris tak terbatas. Googling jadi modus baru masyarakat modern mencari informasi, mendapat hiburan, memenuhi kebutuhan hidup, menjalankan profesi, dan seterusnya. Lebih dari itu, Google menginspirasi banyak orang merintis berbagai jenis usaha berbasis pemasaran dan penjualan secara daring.

Namun, di sisi lain, Google juga menimbulkan masalah pelik terkait kedaulatan negara dalam menerapkan pajak. Mendominasi belanja iklan digital global dengan pangsa pasar 33,24 persen, Google meraih pendapatan terutama dari layanan iklan google adwords. Sebuah metode beriklan secara daring yang menjanjikan efektivitas, keterukuran, interaktivitas, dan adaptasi terhadap tren perubahan perilaku komunikasi masyarakat. Persoalannya, bagaimana negara menerapkan pajak atas google adwords? Siapa yang berhak menarik pajak, negara asal pengiklan atau negara asal pemilik aplikasi iklan?

Inilah muasal konflik antara Google dan otoritas pajak di Eropa belakangan. Kecanggihan inovasi teknologi di sini bertemu kelihaian dalam menghindari pajak. Transaksi google adwords di London, misalnya, tak dapat dikenai pajak korporasi Inggris (20 persen) karena hak paten atas aplikasi ini dimiliki perusahaan X di Irlandia. Pajak korporasi Irlandia (12,5 persen) juga tak dapat diterapkan karena perusahaan X harus membayar royalti kepada perusahaan Y di Belanda. Perusahaan Y sebagian kepemilikannya dimiliki perusahaan Z di Irlandia. Perusahaan Z terbebas dari pajak karena secara legal dimiliki warga negara Segitiga Bermuda.

Praktik ulang-alik pajak yang dikenal dengan istilah double Irish with a Dutch sandwich memicu kemarahan otoritas pajak di Eropa. Tahun lalu, otoritas pajak Inggris menggugat Google atas tuduhan penggelapan pajak. Google kemudian bersedia membayar 130 juta poundsterling untuk pengganti pajak selama 2005-2014. Dana yang mesti dibayarkan Google seharusnya jauh lebih besar karena penghasilan Google di Inggris periode itu mencapai 6,8 miliar poundsterling dengan ketentuan pajak korporasi 20 persen. Dengan latar belakang yang sama, Pemerintah Perancis juga menuntut Google membayar 1,6 miliar euro untuk pembayaran pajak transaksi Google periode 2011-2015.

Bagaimana Indonesia? Data Kementerian Komunikasi dan Informatika menunjukkan, Google dan Facebook menguasai 80 persen belanja iklan digital Indonesia tahun 2015. Dengan total belanja iklan digital tahun itu mencapai 800 juta dollar AS, dua korporasi global itu berarti menikmati 640 juta dolar, setara Rp 8,45 triliun. Pendapatan iklan ini seluruhnya terbebas dari pajak!

Urusan pajak ini tentu sangat fundamental. Kita berbicara tentang kedaulatan fiskal suatu negara, serta potensi pendapatan negara yang fantastis besarannya. Kita juga berbicara tentang iklim berusaha yang timpang di bidang media dan informasi.

Ketidakjelasan skema pajak iklan digital hampir pasti memengaruhi daya hidup media cetak, radio, televisi, tanpa terkecuali media daring. Bagaimana mereka dapat bersaing dengan Google dan Facebook jika yang terjadi adalah perlakuan asimetris terhadap entitas bisnis yang sama? Mereka menjadi wajib pajak, sementara raksasa-raksasa global itu terbebas dari pajak sehingga dapat menerapkan tarif iklan yang ekonomis dan meraih porsi keuntungan lebih besar.

Masalah berikutnya, tidak ada ketentuan tentang royalti untuk konten jurnalistik yang diagregasi mesin pencari data. Google dan Yahoo notabene tidak memproduksi informasi sendiri. Yang mereka lakukan, kurang-lebih, mengagregasi dan mengategorisasi sumber-sumber informasi digital, termasuk media massa, lalu menyajikan aksesnya kepada semua orang.

Beberapa upaya melembagakan royalti atas konten jurnalistik yang diagregasi jaringan mesin pencari itu sudah dilakukan di Jerman dan Spanyol. Nama regulasinya: hak cipta untuk media pers. Namun, tak sedikit pihak menentang regulasi ini, katakanlah pengelola portal berita yang justru merasa dibesarkan oleh jaringan ini dengan meraih traffic dan indeks darinya. Di sini kita menemukan dilema lain dalam menghadapi Google. Mau dilawan dia berguna untuk media konvensional. Tak dilawan dia akan melibas media konvensional.

Dilema berikutnya terkait dengan dampak negatif revolusi digital. Bahwa Google, Facebook, Yahoo, dan lain-lain memberikan sumbangan berarti bagi kemajuan peradaban masyarakat, tak diragukan lagi. Namun, di saat yang sama, masalah serius sedang mengancam. Unconscious sindrom, yakni sindrom lupa waktu, lupa kegunaan dan lupa konteks sehingga senantiasa secara refleks terdorong untuk memelototi telepon pintar sudah menggejala luas dalam masyarakat. Generasi muda selalu menjadi target utama. Namun, mereka umumnya belum mendapatkan pendidikan tentang bagaimana menggunakan telepon pintar secara pintar, bagaimana menghindari dampak-dampak buruk teknologi internet.

"Generasi muda perlu mendapatkan pelajaran tentang sejarah, efek sosial, dan bias-bias teknologi agar mereka tumbuh jadi generasi yang mengetahui bagaimana menggunakan teknologi, bukan sebaliknya, diperbudak teknologi." Peringatan Neil Postman tahun 1992 ini sangat relevan untuk konteks teknologi digital di Indonesia hari ini.

Singkat kata, literasi media digital mutlak diperlukan, bahkan sudah saatnya dimasukkan dalam kurikulum pendidikan dasar. Mendidik masyarakat akan kebaikan dan keburukan teknologi digital bukan hanya kewajiban negara, melainkan juga kewajiban perusahaan-perusahaan distributor telepon pintar dan produk sampingannya. Terintegrasi dalam lanskap komunikasi dan informasi global memang tak terelakkan. Namun, kita perlu menghadapinya dengan bijak agar tidak semata-mata diperlakukan sebagai pasar bahkan sebagai objek eksploitasi.